Sharing Pengalaman Membuat E-KTP Pada Tahun 2015 Silam
Assalamu’alaikum.
Kembali lagi pada artikel
Icalan01. Kali ini kami akan membagikan pengalaman kami ketika membuat E-KTP atau Kartu Tanda
Penduduk Elektronik di daerah kami pada tahun 2015 silam.
Jika ada yang bertanya, kenapa
kami baru mengulasnya sekarang yakni pada tahun 2019? Jawabannya adalah karena
baru sekarang-sekarang aktif menulis dan membagikan pengalaman-pengalaman hidup
kami hehe.
Artikel ini akan lebih mirip
seperti curahan hati ketimbang artikel berita atau artikel ilmiah lainnya yang
ada di Icalan01. Oleh sebab itu, bagi kalian yang senang membaca curhatan
orang, maka silahkan lanjutan membaca. Namun jika kalian alergi dengan curhatan
orang, silahkan lihat-lihat artikel kami yang lain.
Oke baiklah. Mari kita mulai,
semua itu berawal ketika tahun 2015 lalu. Dimana kami baru lulus SMK dan
presiden kita yang baru adalah Presiden Jokowi. Berkenaan dengan itu, kebetulan
usia kami juga baru menginjak 17 tahun. Oleh sebab itu kami putuskan untuk
segera membuat E-KTP yang kebetulan katanya pembuatannya “gratis”.
Kami lupa tanggal dan bulan kapan
kami membuat E-KTP. Tetapi yang jelas kami membuat E-KTP tersebut dimulai
ketika sebelum lebaran dan selesai setelah beres lebaran atau secara kasar bila
kami sebutkan adalah sekitar tiga bulan kami membuat E-KTP (maklum kan gratis) hahaha *Tertawa_Jahat.
Seperti biasa, awalnya kami
menyiapkan berkas-berkas pendukung dalam pembuatan kartu kependudukan. Kami
siapkan Kartu Keluarga, serta akta lahir. Karena waktu itu katanya pembuatan
E-KTP bisa dilakukan di kantor kecamatan, maka kami waktu itu melakukan
permohonan pembuatan E-KTP “gratis” di kantor kecamatan di wilayah kami.
Kami atau saya dan teman saya
masuk kantor kecamatan dan melakukan perbincangan dengan petugas kecamatan yang
ada. Setelah megantri, kami akhirnya masuk ruang perekaman E-KTP dan diujung
pertemuan, kami dimintai uang sebesar Rp. 20.000 hahaha.
Kami diberi surat pengantar untuk
menuju kantor kabupaten. Setelah itu, petugas tersebut meminta kami datang lagi
ke kantor kecamatan pada minggu depan jika ingin pengurusan atau pengambilan
kartu E-KTP diuruskan oleh petugas kecamatan dengan syarat ada “ongkosnya”.
Kami sendiri lupa nominalnya,
tapi yang jelas kami sempat mengiyakan, sebelum akhirnya kami berubah fikiran
dan kami pada minggu depannya hanya ke kantor kecamatan untuk mengurus
kekurangan surat. Pada tahap ini kami tidak bertanya nominal, karena apa?
Karena kami lagi tidak punya duit! Jadi kami langsung pergi dan seandainya kami
ditagih, kami tidak akan bayar karena pengurusan E-KTP itu “katanya” gratis.
Lanjut kami menuju kantor
kabupaten. Pada tahap ini kami menyerahkan dokumen dan bukti perekaman di
kantor kecamatan. Nah di sinilah kisah dramatisnya dimulai.
Singkat cerita selama tiga bulan,
dengan intensitas kunjungan sekitar seminggu sekali hingga dua minggu sekali
kami mengunjungi kantor kabupaten untuk menerima update kartu E-KTP kami.
Namun waktu demi waktu berlalu,
dari sebelum bulan Ramadhan hingga selesai bulan Ramadhan, ternyata kartu E-KTP
kami belum beres juga.
Alasan tiap kami ke sana dan
tidak kunjung mendapatkan E-KTP adalah karena tintanya habis, bahan bakunya
habis, anunya habis dan lain-lain.
Jadi intinya tiap kami ke sana selama tiga bulan selalu ada alasan.
Pedihanya banyak calo yang sudah
terbukti bisa memproses E-KTP tersebut terutama bila hanya tinggal cetak.,
tarifnya sekitar Rp. 100.000. Sedangkan setelah kami bertanya pada ketua RT
kami, kurang lebih bila mau diproses tarifnya sekitar Rp. 200.000.
Kami tidak menggunakan jasa-jasa
tersebut karena kami berfikir E-KTP akan segera rampung, karena saat itu sudah
memasuki satu bulan lebih dan petugas kantor kabupaten pun menjanjikan hanya
sebulan waktu pencetakannya (harusnya bisa langsung, namun katanya bahan baku
E-KTPnya habis jadi kami harus ke sana tiap beberapa minggu untuk mengecek
status pencetakan E-KTP kami).
Selama bolak-balik ke sana, kami
jujur merasa sedih. Kenapa? Karena selain sulit diproses, ternyata ada orang
lain yang nasibnya lebih suram dari kami.
Bayangkan saja? Seorang kakek tua
yang jarak rumah dari kantor kabupaten berjarak 2-3 jam berkendara, harus
menunggu pencetakan E-KTP selama berbulan-bulan juga.
Selain itu, bila ditanyakan
masalah pelayanan, jangan harap deh
dapat pelayanan prima seperti teori-teori pelayanan yang ada di sekolahan atau
di bangku kuliah.
Kami menunggu dari jam tujuh pagi
sampai jam dua belas siang hanya untuk mendengar bahan baku habis. Dan hal
tersebut dirasakan kami selama tiga bulan.
Pernah waktu telah
menunjukan sekitar pukul sembilan pagi
dan sudah banyak masyarakat yang mengantri serta berdesak-desakan, tapi (mohon
maaf) yang kami lihat, para petugas masih asyik mengobrol dan ada yang sarapan
makanan kecil pula. Sampai ada di belakang kami berkata dengan nada cukup
tinggi “WOY AI IEU MUKA TEU? (woy kalau (kantor kabupaten) ini buka tidak?).
Selama tiga bulan kami terus
diberi ketidakpastian, hal tersebut berbanding terbalik dengan teman kami yang
baru dua minggu dengan bantuan orang dalam bisa langsung tercetak E-KTPnya.
Bahkan ada teman kami yang satu hari sudah beres karena pakai kekuatan orang
dalam. Selain itu, ada orang lain juga yang kami temui telah beres dan mendapat
E-KTPnya lewat bantuan calo.
Kami sendiri dapat E-KTP tepat
satu minggu sesudah petugas kantor kabupaten memberi nomor teleponnya dan
menyuruh kami menghubunginya jika ingin E-KTPnya selesai (bila dijumlahkan
sekitar tiga bulan).
Kami pun pada minggu berikutnya
menanyakan perkembangan E-KTP kami. Tapi sayangnya pesan lewat SMS kami tidak
dibalas. Kemudian pada esok harinya, kebetulan ibu kami dan kami datang ke
kantor kabupaten untuk mengambil kartu E-KTP kami.
Hasilnya, E-KTP kami akhirnya
tercetak dan diakhir cerita oknum petugas kantor kabupaten yang baik hati,
berintegritas, dan jujur tersebut memintai uang seikhlasnya kepada kami.
...........................Ingin
ku berkata kasar...........................
Kisah tersebut tentunya akan
selalu kami ingat. Dimana selama tiga bulan tersebut kami harus
diluntang-lantungkan nasib E-KTPnya. Mungkin itu juga pelajaran bagi kami,
bahwa apa yang gratis dan mudah kata Pak Presiden, belum tentu ke jajaran
bawahnya akan seperti itu juga.
Kami sadar bahwa masih banyak
orang baik di dunia ini, tapi oknum yang kami ceritakan di atas kami yakinkan
tidaklah baik dan mari kita doakan agar diberi yang terbaik oleh Tuhan kita.
Sebagi informasi tambahan, dua
tahun kemudian kami ke kantor kabupaten lagi untuk mengurus E-KTP dan Akta
lahir adik kami. Namun selang dua tahun berlalu, ternyata masih sama saja.
Bahkan di saat kami mengantri, ada celetukan anak muda yang kurang lebih
berkata “Hah, masa sudah dua tahun nunggu
pencetakan E-KTP masih terus saja tinta habis, plastik habis, blangkon dan
lain-lain habis”.
Karena hal tersebut, akhirnya
kami pulang dan tidak jadi mengurus surat-surat kependudukan tersebut. Kami
punya pengalaman indah, dan kami lebih baik menyuruh ketua RT saja untuk
mengurus KTP. Bayar sekian dan dua minggu beres tanpa embel-embel bolak-balik,
tinta habis, dan bilang E-KTP gratis.
Nah curhatan ini bukan bertujuan
untuk membuat citra petugas E-KTP jelek, sebaliknya ini merupakan hal nyata di
lapangan yang kami harap jika ada pemangku kepentingan yang membacanya, dapat
dengan sesegera mungkin melakukan pengendalian atau evaluasi terhadap sistem
dan kinerja yang berlaku.
Semoga kita semua tidak merasakan
apa yang kami alami. Nah artikel ini kami cukupkan sampai di sini, akhir kata
semoga bermanfaat dan sampai jumpa.
Wassalamu’alaikum.